Regulasi Tiket Pesawat Murah Bakal Dihapus

Regulasi Tiket Pesawat Murah Bakal Dihapus

MAGELANGEKSPRES.COM, JAKARTA - Kebijakan tarif tiket pesawat murah untuk kategori maskapai berbiaya murah atau Low Cost Carrier (LCC) dalam waktu dekat ini bakal dihapus. Sebab regulasi tersebut tidak bisa dilakukan jangka panjang. Diketahui, tarif tiket pesawat berlaku sejak 11 Juli 2019. Hasil kesepakatan bersama antara regulator dan maskapai yakni potongan harga mencapai 50 persen dari tarif batas atas (TBA). Potongan berlaku pada hari Selasa, Kamis, dan Sabtu pada pukul 10.00 hingga 14.00 waktu setempat. \"Flight murah hari tertentu Selasa, Kamis, Sabtu, jam tertentu. Kita sudah pelajari dan itu tidak bisa sustainable,\" kata Menteri Koordinator (Menko) bidang Perekonomian, Darmin Nasution di Jakarta, kemarin (2/8). Sebagai pengganti kebijakan yang telah dihapus, kata Darmin, pemerintah akan membuat kebijakan baru yang tidak memberatkan maskapai penerbangan. Kebijakan baru akan diterbitkan setelah dilakukan kajian yang mendalam dengan melibatkan pihak terkait seperti maskapai dan pengamat penerbangan. \"Kita harus benahi dari berbagai segi. Jadi kita akan sedang menelusuri mana yang perlu dibenahi,\" ujar dia. Pengamat Penerbangan, Alvin Lie menyambut baik kebijakan tarif maskapai akan dihapus. Sejak awal dia memang kurang setuju dengan kebijakan tersebut. \"Bagus, memang ini kebijakan yang tidak pada tempatnya sejak awal,\" kata Alvin kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8). Anggota Ombudsman itu mengemukakan sejumlah alasan aturan tarif maskapai tidak pada tempatnya. Pertama, Menko Perekonomian, Darmin Nasution offside karena membuat kebijakan yang di luar kewenangannya. Sebab regulasi tersebut ranah kewenangan Kementerian Perhubungan. Kedua, Menteri Darmin menjanjikan berbagai insentif tanpa persetujuan menteri-menteri teknis yang berwenang. Ketiga, Menteri Darmin menetapkan sepihak besaran diskon 50 persen tanpa kajian ilmiah dan tanpa mengakomodir pendapat maskapai. Terakhir, Menteri Darmin terlalu jauh intervensi ranah korporat. Sampai mengatur jadwal hari, jam, jumlah kursi, besaran diskon. \"Ini bukan kebijakan tapi pemaksaan kehendak. Tentu tidak akan mampu bertahan karena tidak realistis. Kasihan airlines yang terpaksa mengikuti tekanan tersebut dan menanggung rugi selama beberapa pekan,\" ujar Alvin. Dalam membuat kebijaka baru, menurut Alvin, pemerintah harus melibatkan semua pihak. \"Menteri teknis harus melakukan kajian teknis dan ilmiah, libatkan pemangku kepentingan. Ada produk hukumnya seperti peraturan menteri atau Keputusan menteri,\" tutur Alvin. Berbeda dengan Alvin, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman tidak setuju adanya regulasi baru. Karena sejak tahun 2016 hingga 2019 TBA sudah lebih murah. \"Kalau mau bikin kebijakan agar maskapai bisa untung tapi bisa menyediakan tarif murah bagi penumpang, ya naikkan TBAnya,\" kata Gerry kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8). Soal TBA, Gerry menekankan bukan ranah Kemenko Perekonomian, namun wewenang Kementerian Perhubungan. \"Kalau Kemenko Perekonomian mau bikin kebijakan ya mending cari-cari bagaimana industri kita bisa kompetitif,\" ujar dia. Dia mencontohkan yang dilakukan Kemenko Perekonomian seperti mencari kebijakan yang mendukung rantai ekonomi penerbangan yang efisien meskipun itu ranah kementerian lain seperti kebijakan kemarin yakni kebijakan memebaskan/mengurangi PPN dan bea impor suku cadang pesawat, sewa pesawat, dan lainnya. \"Saya yakin masih ada hal-hal yang bisa dicari lagi,\" ucap dia. Direktur Penelotian Center of Reforms on Economics (Core), Pieter Abdullah mengatakan, memang sudah seharusnya ada kebijakanyang tepat untuk menyelamatkan maskapai sehingga dapat menghentikan permasalah selama ini. \"Kebijakan itu hendaknya bukan kebijakan adhoc atau sementara yang bertujuan jangka pendek,\" kata Pieter kepada Fajar Indonesia Network (FIN), kemarin (2/8). Menurut dia, pemerintah seharusnya membuat kebijakan dengan berdasarkan kajian yang mendalam tentang apa yg sebenarnya terjadi dengan industri penerbangan. \"Apa yang menyebabkan terjadinya inefisiensi. Tanpa kajian ini kebijakan hanya akan bersifat adhoc dan tidak menyelesaikan masalah secara tuntas,\" pungkas dia.(din/fin)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: